Socrates speaks about Clouds after Strepsiades mentions that Clouds look like humans, or women in particular. The shape-shifting Cloud goddesses, similar to the clouds in the sky, is able to take on different forms depending on the viewer’s perspective. Aristophanes compares the constant transformations of the Clouds to the ideas, language, or words of the Sophists, who do not pursue objective truth but seem to agree with whatever concept wins the argument.

The Clouds, seni instalasi karya Joko Avianto. Foto: William Sutanto

Karya ini merupakan bagian dari seri karya “The border between good and evil is terribly frizy” yang sebelumnya pernah dipamerkan di Yokohama Triennale, Jepang pada 2017.

Perubahan bentuk awan tidak sekonstan perubahan yang terjadi pada sebuah ide dan bahasa. Bentuk awan berubah sejalan dengan persepsi manusia yang dinaunginya, kadang kita melihat bentuk binatang, bentuk manusia, huruf atau hal lainnya.

Awan meneduhi ketika langit sedang terik, dan menjanjikan kesegaran dengan hujannya saat langit kelam. Bagi gunung Semeru (menurut kepercayaan Shinto–misalnya), awan merupakan batas antara dunia manusia dan dewa-dewa, batas antara kekhilafan dan keabadian. Maka, apakah yang kita cari dalam imaji-imaji awan merupakan suatu kebenaran objektif atau hanya suatu keinginan untuk memenangkan argumen-argumen?

Lalu, mengapa coklat? Warna coklat merupakan warna natural unsur tanah yang di analogikan pada karya ini sebagai warna manusia. Awan yang kita lihat sehari-hari menceritakan kegiatan manusia-manusianya, karena apa yang terjadi di langit merupakan hasil dari kegiatan manusia-manusia di bawahnya.

Joko Avianto menggunakan material alternatif bernama eco-faux, dukungan produsen polymer,:Viro.

Bentuk karya ini diambil dari bentuk gumpalan awan yang cenderung organis, formal namun chaotic dengan unsur keteraturan. Keindahan di tengah ketidakteraturan ini terbingkai dalam 4 buah panel karya berbahan eco faux – serat non-natural yang berasal dari bahan high-density polyethylene (HDPE) yang memiliki look and feel serupa material alami dari Virobuild.


 

Viro memasok bahan eco faux yang menyerupai bambu bagi karya Clouds dari Joko Avianto yang terdiri atas empat panel yang membingkai ketidakteraturan menjadi keindahan.

 

 

 

“Melalui Clouds, saya ingin menyampaikan bahwa kebenaran adalah hal subjektif sebagaimana manusia yang dapat berbeda-beda dalam memaknai sebuah gumpalan awan. Selain itu, penggunaan bambu dan materi eco faux dari Viro dalam instalasi seni ini bertujuan untuk menunjukkan harmoni antara bahan yang bersifat terurai dalam waktu tertentu (bambu) dan pilihan yang lebih berkelanjutan dan tahan lama (eco faux) untuk menggelitik rasa ingin tahu dari mereka yang melihat karya seni ini dan perlahan membangun kesadaran untuk semakin peduli terhadap lingkungan,”

Joko Avianto

Karya Clouds ini dapat dinikmati pengunjung di area Designer’s Booth/ Joko Avianto . Karya ini dapat dikunjungi oleh publik di ajang CASA Indonesia 2019 yang berlangsung sejak 2-5 Mei 2019 di Ballroom Hotel Ritz Carlton, Pacific Place.