“Sepeda belum jadi pilihan”, begitu judul berita Kompas hari ini. Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas baru saja merilis hasil jajak pendapat. Informasinya berupa infografik & naskah penjelasan yg dimuat dalam media cetak Kompas 5/5/2019. Dalam lead(teras berita) dituliskan
“Bersepeda dinilai sekedar sarana olahraga dan rekreasi bagi sebagian warga Jabotabek”.
Kompas
Sebagai pembuka Kompas menceritakan perjalanan tren sepeda di Indonesia mulai dari tahun 2000. Tren bersepeda sekitar tahun 2000an memang memang mulai meningkat (tren ya, bukan quantity penggunanya –menurut kami).
Sebenarnya kebiasaan bersepeda masyarakat Indonesia sudah jauh lebih lama dari itu. Sepeda sangat populer menjadi alat transportasi ketika industrialisasi terjadi di negeri ini. Saya masih ingat di masa kecil ketika ribuan buruh pabrik gula di kota saya menggunakan sepeda sebagai sarana berangkat ke pabrik. Pun juga pabrik rokok, pabrik kacang, dimana saat itu pengguna kendaraan bermotor sangat jarang.
Blogpost: Salah satu cerita bersepeda di jaman old.
Namun ketika era motor jepang giliran “menjajah” (mulai tahun 2000an), berangsur masyarakat kita meninggalkan sepeda sebagai alat transportasi, barulah pelan-pelan masyarakat semakin banyak yang menggeser fungsi sepeda menjadi sarana olahraga, rekreasi, atau sekedar ikut Car Free Day. Jadi menurut kami yg meningkat itu tren-nya, bukan jumlah penggunanya (sepertinya tidak ada yg melakukan riset saat itu)
Kembali ke Kompas. Di tahun 2000an MTB semakin digemari di jabotabek. Yg terkenal adalah trek offroad di jalur pipa gas Jombang(Banten), Downhill di Sentul, dan gowes malam hari di Puncak Bogor. Didukung oleh industri sepeda, genre sepeda di Indonesia semakin meluas muncullah komunitas sepeda lipat, onthel, fixie, road, dll begitu ulas Kompas.
Betul, disekitar tahun 2007-2013 event funbike terjadi maha dahsyat di negeri ini.
Braderian
Kompas lanjut menceritakan pada Agustus 2006 terbentuk Komunitas Pekerja Bersepeda (Bike to Work Indonesia), dideklarasikan di Balai Kota DKI Jakarta. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diikuti chapter B2W di kota-kota yang lain. Seingat saya sekitar 2014 tren bersepeda mulai berkurang, pun juga aktifitas komunitas B2W yg cukup menjadi barometer komunitas pesepeda saat itu mulai berkurang aktifitasnya.
Tren funbike atau secara umum memang berkurang namun sebenarnya ada peningkatan pada tren bersepeda yang lebih spesifik seperti meningkatnya penggemar MTB yang lebih expert (mainnya makin canggih). Misalnya meningkatnya cross country, enduro, bahkan downhill. Touring roadbike juga semakin banyak. Dalam populasi yang lebih kecil, folding bike sebenarnya juga tampak kembali meningkat.
Di infografik kompas menunjukkan 57,8% responden lebih memilih sepeda sebagai sarana Olahraga untuk kebiasaan keluarga. 16,2% untuk bekerja; 9,2% untuk sekolah; selebihnya menyampaikan tidak ada & tidak tau.
Kemudian persoalan utama pemakaian sepeda di Jakarta menyebutkan 57,4% menyatakan rawan ditabrak kendaraan. 21,4% beranggapan bersepeda itu terkena imbas polusi; 7,2% menyatakan rawan terkena kejahatan.
56% menyatakan tidak aman bersepeda di Jakarta; 42% menyatakan aman, selebihnya golput.
Perlu dicatat bahwa jajak pendapat yang dilakukan kompas ini melibatkan responden yang hanya di Jabotabek. Dimana tipikal bersepeda di kota lain bisa sangat berbeda dengan di ibukota. Banyak di kota lain yang masih sangat nyaman & aman untuk bersepeda.
Hasil dari jajak pendapat ini perlu berkelanjutan menjadi bahan diskusi para pemangku kepentingan yg terlibat dalam pengelolaan tata kota. Berharap di Jabotabek semakin berbenah membuat bersepeda semakin nyaman dan aman, pun juga bagi pengelola kota besar yang lain supaya lebih siap menata kota; supaya lebih ramah untuk bersepeda. Salam bersepeda!
Braderian
Metodologi
Jajak pendapat melalui telepon yang dibuat Litbang Kompas pada 17-18 Maret 2019. Jajak pendapat melibatkan sebanyak 500 responden berusia minimal 17 tahun yang berdomisili di Jabotabek. Jumlah responden ditentukan secara proporsional di setiap kota. Menggunakan metode yang digunakan Litbang Kompas pada tingkat kepercayaan 95%, nirpencuplikan kurang lebih 4,4 persen. Meski demikian kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajap pendapat tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat di wilayah tersebut.
Leave A Comment